2/28/2009

ORASI ILMIAH: Umat Islam Tidak Boleh Inferior

METRO (Lampost): Prof. Dr. Syaripudin Basyar, M.Ag., menegaskan umat Islam tidak boleh merasa inferior di depan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena, di zaman klasik, Islam pernah membuat supremasi dan dominasi dalam bidang pengetahuan dan peradaban.

Demikian dikatakan Syaripudin dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar STAIN Jurai Siwo di academic center kampus setempat,

Kamis (26-2). Syaripudin dikukuhkan bersama Prof. Hj. Enizar, M.Ag.

Pengalungan gordon pengukuhan dilakukan Rektor IAIN Raden Intan Prof. Dr. K.H. Musa Syu'eb. Syaripudin meraih gelar profesor dalam bidang ilmu politik Islam, sedangkan Hj. Enizar meraih gelar profesor dalam bidang ilmu hadis.

Menurut Syaripudin, Islam memberikan kebebasan absolut kepada manusia untuk mengorganisasi negara sesuai kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi dengan mempertimbangkan faktor sosial dan tuntunan zaman.

Pergolakan politik Islam modern, kata dia, berpusat pada isu nasionalisme, konstitusionalisme, dan pan-islamisme bertujuan membenahi entifasi persatuan dan kesatuan umat Islam internasional.

Selain itu, mereformasi sistem pemerintahan yang absolut, diktatoristik menuju pemerintah yang demokratik dan akuntabel terhadap rakyat.

Tujuan lain, menyejajarkan umat Islam dengan negara Barat sehingga dapat melepaskan diri dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan dalam percaturan pergaulan internasional.

Sementara Enizar yang menyoroti tentang jihad mengatakan perang merupakan salah satu bentuk jihad dalam Islam. Namun ada perbedaan antara perang di jalan Allah dengan perang di jalan setan.

Keduanya sangat berbeda, baik segi alasan, tujuan, dan caranya. Perang di jalan Allah didasari adanya ketidakadilan dan kezaliman serta tujuannya untuk menghilangkannya. Sedang perang fisabil thaghut didasari keinginan melindungi kezaliman dan menimbulkan permusuhan.

Menurut dia, perang dilakukan untuk meninggikan kalimat Allah, perang dilakukan bukan untuk kepentingan duniawi. Enizar mengakui pemaknaan jihad kini telah mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang bersifat kekerasan.

Prof. Dr. Musa Syu'eb, M.Ag., mengaku dengan pengukuhan dua profesor di STAIN Metro menjadi kebanggaan di lingkungan pendidikan tinggi Islam di Lampung. Karena itu sudah pantas STAIN Metro untuk dijadikan IAIN. "Kita berharap STAIN menjadi IAIN," tambahnya usai pengukuhan. n CAN/N-1
Sumber:http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009022706311321

Politik Berkarakter Islam Hadirkan Perbaikan

JAKARTA--MI: Fenomena munculnya partai yang mengusung platform keagamaan, terutama Islam sudah muncul di Indonesia sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama pada 1955. Namun belum ada satupun yang mampu muncul menjadi kekuatan politik utama yang memdominasi peta politik nasional.

Selain karena sisi kultur masyarakat Indonesia yang lebih toleran dengan segala macam perbedaan, termasuk dalam hal religi, partai politik Islam yang ada belum mampu memberikan jaminan bisa tetap mempertahankan harmonisasi dalam keanekaragaman masyarakat Indonesia.

Demikian disampaikan Prof DR Syaripudin Basyar M Ag, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo, Metro Lampung Selatan, yang baru saja diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Politisi Islam STAIN Jurai Siwo saat diwawancarai Jajang Sumantri dari Media Indonesia, Kamis (26/2).

Alumni pesantren Gontor dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu memaparkan pemikirannya tentang peran politik partai Islam di Indonesia. Berikut cukilan wawancara dengan pria kelahiran Way Kanan, Lampung 11 Agustus 1966 silam ini.

Apa esensi dari pidato pengukuhan Anda sebagai Guru Besar Ilmu Politik Islam?

Intinya, saya mencoba membedah kegagalan politik Islam modern dengan pendekatan historis dari mulai masa kekhalifahan hingga era kontemporer. Saya mencoba mengkaji dari munculnya Pan Islamisme yang merindukan adanya kesatuan Islam internasional dengan konsep khilafah, gerakan konstitusionalisme Islam yang berupaya membatasi peran dari raja-raja di dunia islamserta gerakan nasionalisme Islam seperti di Turki yang kental dipengaruhi revolusi Prancis. Kemudian gerakan nasionalisme bernapas Islam yang berkembang di Mesir, Iran, India serta Pakistan pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini masuk ke Indonesia secara damai seiring dengan semangat memerdekakan diri dari penjajahan dan membentuk akulkturasi dengan budaya yang sudah ada sebelumnya. Ini yang menjadikan Islam Indonesia termasuk kehidupan politik penganutnya begitu menarik untuk dipelajari.

Siapa yang banyak memberi kontribusi paling signifikan terhadap penguatan masyarakat madani Indonesia, apakah Islam secara politik atau secara kultural?

Meski gerakan politik berbasis Islam masuk secara massive saat masa-masa perjuangan kemerdekaan yang ditandai dengan munculnya berbagai partai politik Islam dari mulai NU, Masyumi, PSII, namun pengaruh keaslian (indegenous) keindonesiaannya terasa begitu kental. Artinya dua pengaruh ini, politik maupun kultural berbaur menjadikan masyarakat Islam Indonesia boleh dikatakan sebagai contoh masyarakat madani yang masih berpegang dengan nilai-nilai keaslian Indonesia, yang ramah, terbuka dan selalu toleran. Kalaupun ada kasus-kasus kekerasan berlatar agama, jauh dari cermin masyarakat Islam Indonesia secara keseluruhan.

Dengan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, mengapa masih ada kalangan yang ngotot membuat partai meski bisa dikatakan partai dengan platform keagamaan tidak terlalu sukses mendulang suara?

Karena sebagai konsekuensi dari negara multikultural maka setiap golongan yang mengusung segmen aliran masih akan mendapat pendukung. Artinya kelompok santri, abangan hingga kaum Muslim modern masih menjadi ceruk untuk diperbutkan oleh partai politik Islam. Dan juga tingkat pendidikan cukup berpengaruh. Artinya ketika seorang sudah melek politik dan melihat apa yang ditawarkan partai berbasis Islam itu justru dianggap mampu memenuhi aspirasi politiknya, ia akan memilih secara sadar untuk bergabung dengan partai Islam. Namun di satu sisi juga masih ada partai Islam yang menggunakan bahasa-bahasa politik dogmatis untuk memukau massa. Namun karena keterbatasan massa, dalam pemilu 2009 kedua jenis partai yang mengusung platform seperti ini juga tidak akan terlalu meraih suara signifikan.

Bagaimana relevansi ungkapan "Islam Yes, partai Islam No" dari Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) dengan kondisi politik kontemporer?

Ada dua tinjauan terhadap ungkapan guru bangsa kita itu. Pertama, pada zaman Orde Baru itu adalah ungkapan kekecewaan terhadap peran partai Islam yang hanya menjadi pelengkap dari sistem politik yang ada, sehingga terus menerus dalam posisi marjinal. Kedua, kemunculan gerakan politik Islam selalu dibarengi dengan munculnya polemik dan perpecahan yang membuat umat terus menjadi korban.

Karenanya Cak Nur melihat wadah itu tidak terlalu penting, justru nilai-nilai Islam ke Indonesiaan itu yang harus dimunculkan untuk membentuk budaya bangsa yang baik. Karena itu yang sekarang diperlukan adalah upaya untuk memasukkan politisi dengan moral seorang Muslim yang baik untuk masuk ke partai manapun, membuat perubahan di dalam dan memunculkan satu budaya politik yang tidak hanya santun dan bermoral, namun juga betul-betul bisa membawa amanah dari konstituen partai tersebut. (JJ/OL-03)

2/11/2009

Kado MUI; Menanti Menguatnya Kiprah Ulama

'Tahiyyat' untuk Mukerda X MUI Wilayah II
Dr. Syaripudin Basyar, M.A.
Anak Bangsa Pemulya Ulama
KEMARIN, Mukerda X MUI se-Jawa plus Lampung (Wilayah II) digelar di Balai Keratun Lampung, dibuka Gubernur. Hajat kali ini terasa istimewa karena melibatkan para ulama tanah jawa selain unsur pengurus pusat MUI, di tengah-tengah situasi daerah ini yang dianggap orang luar tidak kondusif. Namun, nyatanya mampu menjadi tuan rumah yang insya Allah baik.
Berbagai isu kehidupan beragama diangkat dalam musyawarah khas ulama, mulai masalah yang acap terjadi dan menimbulkan persoalan hukum (mu'amalah) dalam masyarakat seperti merebakya praktek munkarat, polemik kuliner, penyelesaian sengketa ekonomi berbasis syariah, hingga masalah yang mungkin tidak pernah menjadi sorotan publik seperti penutupan jalan umum untuk hajatan dan foto mesra calon pengantin di sampul undangan.

Tentu yang mungkin akan berkembang secara dinamis juga adalah sejumlah isu aktual lain yang dimunculkan para peserta berdasarkan perkembangan dimensional kehidupan sosial keagamaan (al-hukm yaduru ma'a illah) atau suatu ketetapan hukum selalu muncul diiringi alasan situasional yang melatarinya.
Menyimak sederet isu di atas, mengisyaratkan MUI--setidaknya di Lampung--mulai menggeliat aktif menangkap, merespons, dan mengartikulasikan aspirasi umat Islam dalam kehidupan beragamanya di tengah-tengah sistem sosial yang memang kurang religius. Meskipun demikian, sejumlah masalah yang dikedepankan belum menyentuh aspek substansi-substansi yang secara riil dihadapi umat seperti persoalan kemiskinan, kebodohan, kelaparan, dan ukhuwah yang rapuh.
Apakah ini menunjukkan ulama secara umum belum memiliki kerangka metodologis dan pendekatan yang pas (at-thoriqah wa kaifiyyah) untuk menjaring agenda prioritas umat. Jawabannya mungkin ya, mungkin juga tidak.
Ya, karena metodologi dan sejumlah pendekatan masalah yang sering digunakan MUI dan bahkan pakem dalam solusi masalah adalah bersifat fiqhiyyahat (pemahaman kontekstual praktis), inward looking (pandangan linear keulamaan), dan oleh sebab itu terkesan parsial (sebelah, single view). Mungkin juga tidak karena ulama dalam terminologi sosiologis adalah komunitas pemilik otoritas keilmuan agama yang domain kompetensinya "hanya" mengurusi wilayah agama, sehingga persoalan-persoalan sosial politik dan kultur bukan garapan habitatnya. Sebab itu, terseparasi dengan pemegang otoritas publik lain seperti pemerintah, alat negara atau negara itu sendiri.
Menurut kami, pradigma lama ini, sejak Prof. Dr. M. Dien Syamsuddin, M.A. memegang tampuk MUI secara perlahan mulai diubah dan digeser ke arah paradigma baru yang lebih berorientasi kepada penyelesaian masalah-masalah publik dalam space lebih luas, substansial, dan menunjukkan karakter Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (mencitrakan Islam sebagai salah satu kontributor perdamaian dunia semesta).
MUI kemudian mulai unjuk gigi dengan fatwa keharaman bunga bank, komitmen utuh pada NKRI, mengeliminasi perda berlabel syariat dalam konstelasi kehidupan bangsa yang plural, selain tentunya sejumlah isu internal di lingkungan umat islam yang memerlukan penjelasan dan kepastian hukum. Apa yang telah dimulai ini, perlu terus dikembangkan dengan mengubah world view (pandangan dunia) para ulama terutama para pengurus MUI.
Beralas frame di atas, seraya mendukung paradigma baru tersebut, dalam pandangan kami, MUI perlu melakukan setrum-setrum energi keulamaannya kepada seluruh stake holder pemegang otoritas publik, politik, ekonomi, dan budaya agar tercipta sinergi dan mutualisme yang multiperspektif dalam penyelesaian berbagai masalah umat (bangsa) di tingkat lokal, nasional atau bahkan di level internasional.
Di depan mata kita telah dan sedang muncul ancaman serius dan mengkhawatirkan umat seperti kerusakan lingkungan yang akut (fasadun fi al-ardhi), hedonisme kultural, penegakan good governance yang mendesak dan lain sebagainya.
Untuk mengambil peran strategis dalam mencari solusi-solusi umat (bangsa) terhadap pelbagai masalah di atas, kepemimpinan (imamah) para ulama perlu dipulihkan kembali setara dengan kepemimpinan umara (pemegang otoritas birokrasi negara) agar segera menyatu, lebur dalam semangat ekualitas (kesamaan peran) saling mengajak, membutuhkan, mengisi, dan menghargai kontribusi masing-masing.
Dalam bingkai ta'awun (spirit saling bantu) itu dihadiri sikap arogansi, klaim kebisaan sepihak dan saling mencurigai.
Ulama dan umara adalah pemimpin dan pemimpin tidak pernah bisa lepas dari public accountability, di dunia dan akhirat sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Al-Isra Ayat (71), "Ingatlah pada suatu hari (kiamat), Kami panggil tiap umat manusia dengam imamnya (pemimpinnya)." Selamat bermusyawarah, semoga Allah swt. menyertakan hidayah, inayat, dan taufik-Nya. Amin

ABAH BARUSMAN TOKOH LAMPUNG ASAL WAY KANAN TELAH TIADA.

Pagi, Jum’at 16 Januari 09, dalam kamar hotel di wilayah Jakarta Selatan, setelah HPku aktif, kulihat ada kotak sms dari Ibu Lintje Marpaung, rekan tim dosenku di MH Universitas Bandar Lampung. Segera kubuka dan terbaca kalimat pertama inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, disambung dengan berita telah berpulang Bapak H. RM. Barusman kepada Yang Kuasa, dini hari Jum’at, pk. 01.45 di RS Urip Sumohardjo, mohon diinformasikan kepada kawan-kawan. Reaksi spontan yang muncul di benakku kurang percaya karena sepengetahuanku Abah, demikian kami menyapanya, suatu panggilan kehormatan keluarga kami dari Way Kanan, terlihat sehat, bugar dan masih bersemangat mengikuti perkembangan. Imaginasiku pun melayang, membayangkan suasana hati saudaraku, puakhiku, Yusuf Barusman, putra sulung beliau beserta Andala adik lelakinya yang akrab denganku. Di benakku, Majikan, panggilan kehormatan kami keluarga untuk Yusuf beserta keluarga besar tentu sangat terpukul, duka, pilu dan dirundung kesedihan mendalam tatkala menerima ujian (musibah) kehilangan orang yang paling mereka cintai, sayangi, hormati dan banggakan untuk selama-lamanya, meninggalkan sejuta kenangan pahit dan manis tak terlupakan.

Sesuai harapan dalam sms, berita duka ini kuteruskan kepada keluarga di Bandar Lampung, Way Kanan, dan beberapa kawan lainnya. Untuk memperoleh informasi akurat dan menepis keraguan tentang berita ini, aku coba telepon majikan sambil dadaku berdetak agak kencang saat menunggu telp diangkat. Setelah saling mengucap salam, aku langsung berinisiatif membuka pertanyaan dengan kalimat bahasa Lampung, khas dialog kami selama ini, “majikan, temon kodo, abah kak lijung?”, dengan suara berat yusuf menjawab “temon, jeno bingi di urip sumohardjo jam 1.45, mahafko Abah yu”. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, timpalku, kulanjutkan dengan upaya menghibur, ” yu kidah, niku sabar yu puakhiku, ikhlasko Abah lijung, beliau kak tenang, lagi wat sikam keluarga mu sai dapok jama-jama melanjutko perjuangan beliau. Niku mak pesaian adinda.” Sambil sesegukan menangis, majikan dengan rendah hati, minta saya, “mahafko Abah yu amon wat salah na”, yang langsung kusela “ya majikan, beliau mak dok salah, insya Allah beliau di surga Allah, sabar yu.” Sejak itu aku percaya bahwa Abah telah tiada, meninggalkan nama besar, jasa besar dan putra-putri yang insya Allah telah siap melanjutkan dan mempertahankan nama besarnya.
Pria yang tutup usia 71 tahun ini yang bertemu terakhir kali di perayaan ulang tahun yusuf ke 40 di graha pattimura, di mataku adalah sosok yang ramah, murah senyum, penuh perhatian, cedas dan pengayom keluarga besarnya baik dari pihak saudara-saudaranya dari Way Kanan maupun dengan pihak keluarga istrinya, yang berasal dari tradisi ningrat Solo. Abah Drs. Haji Rya Makbul Barusman adalah seorang akademisi sejati, karirnya sebagai pegawai negeri sipil dosen di fakultas Ekonomi Unila ditekuninya hingga beliau pensiun. Di samping tugas pokoknya, ia bersama istri merintis pendirian yayasan Administrasi Lampung, membuka akademi sekretaris dan manajemen dan kemudian membuka Universitas Bandar Lampung yang sudah sangat dikenal di dalam dan luar Lampung. Universitas Bandar Lampung menjelma jadi ikon perguruan tinggi swasta di daerah ini yang cukup diminati oleh masyarakat dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun banyak bermunculan perguruan-perguruan tinggi baru di sekelilingnya, UBL tidak pernah kehilangan pamor dan daya tarik. Institusi yang penah menjadi kebanggaan masyarakat Lampung ini karena mampu mensejajarkan diri dengan universitas swasta lain di Indonesia telah memberi sumbangan luar biasa kepada masyarakat terutama dalam menyediakan puluhan ribu tenaga sarjana yang berkualitas yang telah berkarir, berkarya dan berprestasi di pelbagai sektor pembangunan seperti dunia birokrasi, ekonomi, hukum dan teknologi. Bahkan setelah beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan UBL kepada putra tertuanya Yusuf Sulfarano yang alumni magister bisnis dari Amerika, UBL telah mengembangkan kapasitas institusi dengan membuka program pascasarjana dalam bidang ilmu manajemen, hukum dan teknik yang makin diminati oleh masyarakat dari pelbagai pelosok propinsi Lampung dan dari berbagai latar belakang profesi.
Abah, semasa hidup kita hanya sempat bergaul sejenak, namun abah telah mempertautkan ikatan persaudaraan antara aku dan putra-putri generasi penerus abah, abah pun telah banyak memberi inspirasi kepadaku bahwa kita orang kampung dari Way Kanan, mampu menorehkan prestasi besar yang akan dikenang dan dihargai masyarakat. Abah, selamat jalan, istirahatlah dengan tenang, kami berdo’a untuk Abah dan insya Allah kami dapat mencontoh kiprah, karya dan keteladanan Abah. Selamat jalan putra terbaik Way Kanan, Selamat jalan tokoh besar pendidikan Lampung.

Pesantren Jangan sampai Tersubordinat

Dr. Syaripudin Basyar, M.Ag.
Intelektual Muslim-Ketua Ika PMG Lampung
NEGARA adidaya semacam Amerika Serikat saja "mengakui" kebesaran pesantren, mengapa kita di negeri sendiri tidak menyadari kekuatan ini?
Negeri kita memiliki satu lembaga pendidikan keagamaan yang khas dan tidak dimiliki negara lain. Lembaga itu adalah pesantren.
Sejak mula berdiri pada masa kewalian di tanah Jawa, pesantren adalah tempat orang berguru, menimba ilmu, menyerap pengetahuan, dan beroleh pencerahan. Pada mulanya, para santri duduk berjejer menghadap sang kiai, sementara sang kiai membacakan kitab kuning sambil tak henti mengingatkan murid-muridnya agar menjalankan ajaran Islam.
Tradisi bonangan yang menanamkan jati diri khas orang-orang pesantren dan membuka kesadaran para santri; tradisi yang terus hidup sampai sekarang di pesantren-pesantren salaf.

Sayang, lembaga ini belum sepenuh hati diterima di negeri kita meskipun hadir lebih dua abad lalu. Masyarakat masih ragu pada pesantren yang sudah berabad itu. Selalu ada pertanyaan, akan jadi apa kelak para lulusan pesantren? Apakah pesantren bisa memberi garansi kelak santrinya bisa mendapat pekerjaan?
Pertanyaan seperti ini masih memenuhi benak masyarakat. Di sisi lain, negara c.q. instansi terkait belum berhasil menyejajarkan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan umum semacam SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Lalu...?
Bagi Dr. Syaripudin Basyar, M.Ag., kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. "Pesantren harus diberdayakan. Pesantren tidak boleh tereliminasi dan tersubordinat dalam sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Sisdiknas kan memberi ruang begitu luas kepada pesantren," ujar doktor muda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Apalagi melihat sejarah pesantren di negeri ini. Sejak awal berdiri, ujar Syaripudin, pesantren tak pernah lepas dari masyarakat desa. Masyarakat perdesaan pada waktu itu identik dengan grassroot. Identik dengan ketidakberdayaan dan "kegelapan".
"Pesantren juga berperan besar semasa perjuangan dulu. Jadi...sangat naif jika aset bangsa ini memperoleh perlakuan yang tidak setara dengan lembaga pendidikan yang dianggap formal. Sekarang ini tidak ada lagi dikotomi formal dan nonformal. Itu harus ditinggalkan," ujar Syaripudin di kediamannya, kompleks IAIN Raden Intan, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Jumat (6-10) malam.
Syaripudin bukan orang baru di dunia pesantren. Sebab itu, bicara soal pesantren bagi Syaripudin ibarat membahas badan sendiri.
Perkenalannya dengan pesantren dimulai setamat SD pada 1979. Lulus SD, ia terbang ke Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Selesai belajar di Gontor, ia meneruskan studi ke Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Antara 2002 dan 2005, ia menjadi penasihat di Forum Pesantren (Forpes). Forum ini membawahkan lebih 200 pesantren se-Sumatera Selatan.
"Kalau di Sumsel ada alokasi bujet dari APBD provinsi. Pertama sekali mendapat Rp5 miliar per pesantren, kemudian menjadi Rp7,5 miliar. Ini belum termasuk bantuan dari pemerintah pusat," ujarnya soal kondisi pesantren di provinsi tetangga.
Pengalaman berkecimpung dengan dunia pesantren di Provinsi Sumsel ini membuat ia berpikir jauh tentang keberadaan pesantren di Indonesia, begitu juga di Lampung. Ia tak ingin suatu saat nanti pesantren hanya tinggal nama.
Syaripudin ingin melihat pesantren menjadi lembaga yang kuat, yang menyebarkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Menjadi lembaga yang menelurkan ulama-ulama sekelas Buya Hamka, K.H. Agus Salim atau M. Natsir.
Lalu...bagaimana dengan pesantren-pesantren di Lampung? Bisakan pesantren tumbuh menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang sama kuat dengan lembaga-lembaga pendidikan umum?
Di Lampung, sekitar 1992 berdiri Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP). "Saya berkecimpung di sana. BKPP banyak menyumbang untuk Provinsi Lampung. Gubernur saat itu (Poejono Pranyoto, red) mencadangkan tanah 720 hektare di Wiralaga, Tulangbawang. Di situ lalu dibangun Pesantren Ulil Abshor, pesantren yang berorientasi agrobisnis," ujar dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung ini.
Namun, ujar Syaripudin, pengembangan pesantren di Lampung belum maksimal. "Perlu dibangun pemikiran konstruktif di masyarakat terutama elite-elite masyarakat. Karena ada anggapan pesantren ini adalah lembaga independen yang bergantung pada swadaya masyarakat. Padahal tidak begini," ujarnya.
"Bantuan-bantuan di Lampung juga masih bersifat insidental, belum terprogram. Ini karena ada anggapan kalau pesantren itu lembaga yang bukan prioritas," kata dia.
Dalam perkembangan kemudian, BKPP yang independen itu tidak dapat lagi mengoordinasi seluruh pesantren. Banyak masalah yang membuat lembaga ini tidak bisa berbuat banyak. Kepentingan kelompok dan minimnya dukungan pemerintah menjadi masalah yang membuat BKPP jalan di tempat.
Seperti apa profil pesantren di negeri kita ini?
Ya...pesantren itu ada beberapa model. Makanya, kita sepakati dulu. Pesantren itu lembaga pendidikan yang bercirikan agama Islam.
Yang unsur-unsur pokoknya terdiri atas kiai, santri, masjid, dan asrama. Materi kajiannya, kata Martin Van Bruiniessen, itu kitab-kitab klasik Islam.
Awalnya, pesantren hanya berorientasi pengembangan umat Islam dalam bidang pendidikan keagamaan. Kurikulumnya independen, tidak menginduk pada Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional.
Saat itu buku-buku yang digunakan adalah buku-buku Islam klasik yang sebagian diimpor dari Al Azhar dan Arab Saudi. Berbahasa arab.
Pesantren seperti ini dapat disebut pesantren yang bertujuan menjaga kualitas Islam. Ini pesantren yang bernuansa salafiyah.
Kategori kedua adalah pesantren yang sudah disentuh pola-pola pendidikan modern. Sudah merambah pendidikan ilmu-ilmu modern barat pada beberapa tingkatan seperti teknologi, ilmu-ilmu baru semisal Aljabar, Bahasa Inggris, Biologi, dan Geografi.
Oke. Masalahnya sampai sekarang masih ada problem terkait ijazah. Tanpa ijazah, lulusan pesantren sulit meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi. Bagaimana ini?
Iya...ada beberapa pesantren yang lebih kurang setengah abad tidak diakui negara karena tidak memiliki sertifikat atau ijazah tanda selesai belajar. Beberapa pesantren salafiyah memang tidak mengenal waktu belajar.
Ada yang 10 tahun bahkan sampai belasan tahun. Ijazahnya itu, kalau kiai sudah mengizikan santri mengajar, ya itulah ijazah. Artinya, secara lisan saja.
Ada juga pesantren yang berkiblat pada departemen agama. Pendidikannya mengikuti model tsanawiah atau aliah. Ada juga yang mengikuti Departemen Pendidikan Nasional dengan memasukkan unsur pendidikan sekolah menengah pertama dan atas.
Nah...untuk pesantren seperti ini, ijazah dikeluarkan dari instansi-instansi itu (Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional). Umumnya di Lampung mengikuti pola departemen agama. Jadi ada pengakuan dari pemerintah berupa sertifikat.
Artinya, yang salafiyah murni tetap tanpa sertifikat formal itu?
Ya. Memang untuk akselerasi dan mobilitas pembelajaran di tingkat yang lebih tinggi, pesantren-pesantren salafiah itu ada kendala.
Kalau soal out put, pesantren salafiyah diorientasikan untuk mengabdi pada masyarakat. Jadi, bukan untuk karier di pemerintah atau swasta. Mereka misalnya menjadi dai.
Coba saja lihat, kan tidak jarang santri-santri salaf begitu keluar pesantren membuat pesantren baru. Jadinya, pesantren-pesantren seperti terus berkecambah. Memang begitu khasnya pesantren salafiyah.
Soal ilmu, ya jangan ditanya. Santri-santri salaf itu dalam sekali ilmunya, baik itu aspek mantik, balagoh, qiraat, tafsir, hadis, nahwu sorof. Mereka matang mereka. Bayangkan, kalau tidak ada pendidikan seperti itu, ilmu-ilmu Islam kan bisa hilang.
Begitu banyak ilmu yang diberikan pesantren, tapi kenapa sampai sekarang animo masyarakat ke pesantren masih rendah?
Ini ada juga faktor budaya. Ya...perbedaan antara budaya masyarakat Islam di Pulau Jawa dan luar Jawa, begitulah.
Di masyarakat jawa, dari turun temurun hawa pesantren itu begitu kental. Kalau seorang anak dari lingkungan santri tidak mencicipi bangku pesantren, itu belum sah. Kalau orientasinya masuk pesantren ya untuk menyebarkan Islam dan menjalankan syiar.
Sementara itu, kultur masyarakat di luar Jawa berbeda. Umumnya sejak kecil kita dibangun dengan mental feodalistik, yang menghendaki posisi-posisi sosial yang serba elitis. Sehingga berpikirnya pun menjadi sangat birokratik.
Kalau begini pandangannya, jelas pesantren tidak bisa menjawab kebutuhan feodalistiknya itu. Orang belajar di pesantren itu kan paling juga akan kuliah di IAIN, kerja di Departemen Agama.
Begitu persepsinya. Sehingga sangat kecil sekali minat ke sana. Ini juga menghantui calon santri.

2/06/2009

KEGAGALAN POLITIK ISLAM MODERN


Secara filosofis, gagasan para pemikir politik Islam Modern sesungguhnya masih aktual hingga kini. Misalnya Pan – Islamisme atau Pan – Arabisme yang secara substansial menghendaki adanya persatuan dan kesatuan bangsa Arab. Para pemikir juga sepakat untuk menggalang solidaritas umat guna mengantisipasi munculnya pemerintahan despotik dan sentralisme kekuasaan.

Babak baru sejarah politik Islam modern dimulai sejak akhir abad XIX dibawah pengaruh Pan-Islamisme. Ini mengawali munculnya diskursus politik tentang khilafah sebagai respons atas kerapuhan sistem kekhalifahan Turki Utsmani. Wacana politik Islam modern ini kemudian menginspirasi Syaripudin Basyar menulis disertasi berjudul “Pergolakan Politik Islam di Tengah Modernisme; Kajian Atas Gagasan Politik al-Kawakibi.” Pembahasan disertasi alumnus Pondok Modern Gontor (1985) itu, lebih difokuskan pada refleksi intelektual dan aksi politik Islam yang direpresentasikan oleh beberapa pemikir Islam sepanjang abad ini.

Syaripudin menyebutkan tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam ranah intelektual dan aksi politik ini diantaranya Rifat al-Thantawi, Jamaluddin al-Afghani, Khairudin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Ziya Gokalp, Ali Abd al-Raziq, Rasyid Ridha, Sayyid Abul A’la al-Maududi dan Taqiyuddin an-Nabhani. “tema-tema politik yang diusung para pemikir Islam ini relatif sama. Misalnya gagasan nasionalisme Arab (Pan – Arabisme), Pan – Islamisme, sistem khilafah dan Dawlah Islamiyyah,” kata ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo, Metro, Lampung.
Doktor kajian politik UIN Jakarta ini membagi tiga paradigma seputar pergolakan politik Islam modern. Pertama, paradigma tradisionalisme yang diwakili oleh Rasyid Ridha. Dalam pandangan tradisional, kekhalifahan hukumnya wajib karena didasarkan pada syariah dan ijma’. Karena itu, Ridha mewajibkan penegakan negara khilafah sebagai perintah syar’i sebagaimana pernah diterapkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, paradigma fundamentalisme.

Pemikiran yang muncul pada paruh pertama abad XX ini dipelopori oleh Hassan al-Banna, al-Maududi, dan an-Nabhani. Menurut paradigma ini, Islam telah menetapkan bentuk dan sistem pemerintahan dengan sistem khilafah dan menjadikannya sebagai satu-satunya sistem bagi Dawlah Islamiyah. Ketiga, paradigma sekularisme; dipelopori oleh Ali Abd al-Raziq. Cara pandang sekular ini meyakini bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan kekhalifahan, termasuk kekhalifahan al-Khulafa al-Rasyidin.
Atas dasar ini, al-Raziq beranggapan bahwa Islam tidak menetapkan suatu rezim dan tidak memerintahkan agar umat Islam menganut suatu sistem tertentu. Islam memberikan kebebasan absolut kepada manusia untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi dengan mempertimbangkan faktor sosial dan tuntunan zaman.
Dari tiga paradigma tersebut, dimana posisi al-Kawakibi yang menjadi objek penelitian pria kelahiran Lampung, 11 Agustus 1966 ini? “al-Kawakibi mungkin menempati posisi tradisionalisme Islam,” kata Syaripudin. Al-Kawakibi sepaham dengan Ridha dalam hal otoritas Quraisy sebagai pewaris kekhilafahan, namun mereka berbeda pandangan dalam soal institusinya. Bagi Ridha, hanya ada satu lembaga khilafah yang berlaku universal bagi umat Islam.
Sementara al-Kawakibi membingkainya dalam skala regional Arab. Pada spektrum lain, kata Syaripudin, al-Kawakibi menyetujui prinsip-prinsip dasar-dasar Islam untuk dioperasikan dalam kerangka Dawlah Islamiyyah (Negara Islam). Konsepsi ini dijadikan alasan pendukung fundamentalisme Islam. Namun perbedaan pandangan terjadi dalam implementasi prinsip-prinsip mengenai konstelasi pemerintahan Islam.
Syaripudin mengakui, dalam batas-batas tertentu ide-ide pemikiran politik para reformis Muslim ini mampu membangkitkan kesadaran umat Islam akan pentingnya persatuan dan penegakan nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahan. Artinya, ungkap komentator politik di Radio Smart FM Palembang ini, pada tataran ideologi mereka berhasil membentuk arus utama (mainstream) pemikiran umat Islam akan pentingnya penegakan nilai-nilai demokrasi sehingga mampu membatasi rezim otoriter. Namun harus diakui juga bahwa pada tataran aksi, ide-ide pemikiran mereka mengalami kesulitan untuk diterapkan.
Buktinya, di Timur Tengah sendiri saat ini masih berkecamuk konflik politik yang berkepanjangan. Hingga kini gagasan yang disebut Dawlah Islamiyyah, Pan-Arabisme atau Pan-Islamisme pun belum pernah terbentuk disana. Apalagi penerapannya didunia Islam yang tersebar diseluruh penjuru dunia.
Syaripudin tak bermaksud menghakimi ide-ide pemikiran politik kaum reformis Muslim maupun mengecilkan makna perjuangan mereka. Namun, ia hendak mengatakan bahwa pada tataran praktis pemikiran politik Islam modern yang dikumandangkan oleh para reformis Muslim tersebut telah mengalami kegagalan. “Sebab pada aksinya hingga saat ini belum terbentuk Dawlah Islamiyyah,” tegas pengagum K.H Imam Zarkasyi dan Dr Harun Nasution ini. Ia juga menyangsikan, munculnya ide Negara Islam atau penerapan hukum Islam di Indonesia, yang boleh jadi hanya romantisme historis-normatif mengingat bangsa Indonesia bersifat pluralistik.

Mainstream al-Kawakibi
Salah seorang tokoh modernis muslim yang terlibat secara intensif mengamati atmosfir politik dan keagamaan di masa itu adalah al-Kawakibi. Pemilik nama lengkap Abdurrahman Afandi al-Kawakibi ini dilahirkan di Aleppo, 1848, dan meninggal dunia secara mendadak tahun 1902.
Seperti kebanyakan modernis lainnya, ia memandang bahwa penyebab kejumudan yang dialami kaum Muslim vis a vis masyarakat Barat Kristen secara internal adalah akibat praktik pemerintahan tirani, kehancuran kebudayaan Islam, dan tidak adanya unsur pengikat baik ras maupun bahasa. Selain itu, al-Kawakibi melihat bahwa Islam mengalami kehancuran karena banyaknya praktik bid’ah yang terutama berakar dari ekses-ekses mistisisme, juga sikap taklid (peniruan membabi buta), stagnasi pemikiran, serta kegagalan membedakan antara unsur esensial dalam Islam dan yang tidak.
Al-Kawakibi melontarkan kritik tajam terhadap kalangan penguasa Islam yang menurutnya telah mendorong tumbuhnya sikap pasif dan taklid serta berbagai bentuk penarikan diri dari urusan dunia yang pada gilirannya semakin memperkokoh absolutisme penguasa. Al-Kawakibi mengingatkan tentang peran despotik dan para penguasa tiran yang merusak Islam dan para pengikutnya.
Negara despotik, menurut al-Kawakibi, melakukan pelanggaran atas hak-hak warganya dengan membiarkan mereka berada dalam kebodohan dan kepasifan hidup bermasyarakat. “semua itu akan merusak hubungan antara penguasa dan rakyat dan hubungan antar warga,” tegas Syaripudin. Gaya penguasa ini katanya, akhirnya menekankan bahwa setiap kekuasaan, apapun bentuk dan sifatnya, berpotensi menjadi tiran disebabkan oleh dua hal, yaitu kebodohan masyarakat dan militerisme yang terorganisir.
Sebaliknya, al-Kawakibi memberikan gambaran tentang negara yang adil sebagai sebuah negara yang memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menentukan tujuan, dan menjamin kebebasan dan kemerdekaan berpendapat, memeluk keyakinan dan memperoleh keadilan serta keamanan. Peran pengausa dalam negara yang adil adalah mengawasi praktek kebebasan warganya. Sebaliknya, negara juga dikontrol oleh rakyatnya.

2/05/2009

AYAH SAYA MEMILIH GONTOR

BERBEKAL motivasi, Syaripudin Basyar kecil berangkat ke Ponorogo, Jawa Timur, untuk mengenyam pendidikan di Pondok Modern Gontor. Ternyata, keputusan mondok di Gontor itu bukanlah pilihan asal-asalan. "Ayah saya survei dulu. Ada enam pondok yang disurvei beliau," kata Syaripudin.
Enam pesantren yang disurvei H. Basyarudin--ayah Syaripudin Basyar-- itu tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. "Akhirnya, ayah saya memutuskan ke Gontor," ujar Syaripudin mengenang kejadian 27 tahun lalu itu.
Akhirnya, ia melangkahkan kaki ke pondok pesantren itu. Rasa rindu kepada ibunya, Hj. Siti Aisyah lambat laun terobati dengan asyiknya belajar dan ngaji di pesantren itu. "Tak terasa, enam tahun saya di sana," ujar suami Asnah Yusfit ini.

Sebagai anak sulung, Bung--begitu sapaan Syaripudin di keluarganya--tidak sempat berleha-leha. Tidak ada privilese untuk dia sebagai putra pertama di keluarga. "Ini benar-benar memotivasi saya. Seperti orang Lampung kebanyakan, ayah saya memang keras dalam hal agama dan pendidikan. Ini juga yang mengantar bisa seperti ini," kata ketua Ika PMG Lampung yang juga staf pengajar di Program Pascasarjana IAIN Radin Intan Bandar Lampung.
Sosok ayah memang begitu besar memengaruhi Syaripudin. Ayahnya yang membuat dia terpacu terus bertahan di Gontor.
Walaupun petani tamatan sekolah sekolah rakyat, ayah Syaripudin gemar membaca surat kabar. "Selain suka ngebaca, ada yang dicari beliau. Itu...perkembangan harga komoditas," kata dia.
Sang ayah jualah yang mengenalkan Syaripudin dengan koran. "Sampai akhirnya menurun ke anak-anak saya. Sekarang ini, setiap koran datang, itu kami rebutan ngebaca-nya. Ha ha ha...!"

2/03/2009

RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Syaripudin lahir pada tanggal 11 Agustus 1966 di desa Tiuh Balak Pasar, kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan dari pasangan H.Basyarudin glr Raja Mesila bin Syaripudin glr Tihang Marga asal Pakuan Ratu dan Hj. Siti ‘Aisyah binti Udin dari Banjar Masin, Baradatu. Di belakang nama Syaripudin ditambah Basyar, nama sang ayah, untuk lebih mengenalkan garis keturunannya. Dalam adat istiadat Lampung, sebagai panggilan kehormatan, ia biasa disapa oleh keluarga besar dan kerabatnya dengan gelar Tihang Marga.

Selepas menamatkan Sekolah Dasar Negeri 2 Setia Negara Baradatu, 1979, ia melanjutkan ke Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur hingga 1985, kemudian selama satu tahun lebih mengabdi di Madrasah Tsanawiyah dan ‘Aliyah Mathla’ul Anwar Baradatu sebagai tenaga pengajar sebelum melanjutkan studinya pada fak. Adab Universitas Islam Negeri Jakarta yang diselesaikan tahun 1991.

Pada tahun 1992, ia menikah dengan Asnah Yusfit S.Pd, asal Sumatera Barat kelahiran Pagar Alam yang kini berprofesi sebagai guru matematika pada MTsN 2 Bandar Lampung dan dikaruniai, Muhammad Ibnoe Nugraha (17 th) kelas 1 SMAN 2, Salsabila Adinda Syarif (9 th) kelas 4 SD al-Azhar Way Halim dan Muhammad Ibnoe Seeda (6 th) duduk di kelas 1 SD Permata Bunda Bandar Lampung.


Karir sebagai pegawai negeri sipil dimulai di staf Humas Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Lampung, 1992, kemudian pindah menjadi dosen fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang (1994-2000). Setelah pindah ke Palembang, ia melajutkan studi program Magister (S2) dan program Doktor (S3) di almamaternya Universitas Islam Negeri Jakarta (1995-2001). Selesai studi ia diserahi tugas sebagai Wakil Direktur Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang (2000-2005). Kemudian ia kembali ke Lampung menjadi dosen fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan (2005-2007), Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro (2007-2011), dan kini telah menjadi Guru Besar dalam bidang Pemikiran Politik dan Peradaban Islam di STAIN Metro.

Pria yang hoby olahraga sepakbola, bulutangkis, futsal dan tennis lapangan ini, juga aktif menjadi dosen tamu di Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Raden Intan Lampung dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung. Di bidang kemasyarakatan, ia aktif sebagai anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan dewan pakar ICMI Bandar Lampung, komandan Resimen Mahasiswa Raden Intan Lampung, ketua harian Islamic Center propinsi Lampung, anggota pengurus Idaroh Wustho Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdhiyyah propinsi Lampung dan tenaga ahli gubernur Lampung bidang Kesra (2006-2008).

Dengan motto “Hidup Sekali, Hiduplah yang Berarti” dan “Sebaik-Baiknya Manusia adalah yang Paling Bermanfaat bagi Orang Banyak”, ditambah latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimilikinya serta niat yang lurus, insya Allah dengan ridho Allah dan do’a restu masyarakat, dapat mengabdi, berkarya dan beramal soleh yang bermanfaat untuk masyarakat.

;;

Comment Box


ShoutMix chat widget

Banner

PuskomSTAINMetro Awan


Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. (Khalifah ‘Umar)
Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all