2/11/2009

Kado MUI; Menanti Menguatnya Kiprah Ulama

'Tahiyyat' untuk Mukerda X MUI Wilayah II
Dr. Syaripudin Basyar, M.A.
Anak Bangsa Pemulya Ulama
KEMARIN, Mukerda X MUI se-Jawa plus Lampung (Wilayah II) digelar di Balai Keratun Lampung, dibuka Gubernur. Hajat kali ini terasa istimewa karena melibatkan para ulama tanah jawa selain unsur pengurus pusat MUI, di tengah-tengah situasi daerah ini yang dianggap orang luar tidak kondusif. Namun, nyatanya mampu menjadi tuan rumah yang insya Allah baik.
Berbagai isu kehidupan beragama diangkat dalam musyawarah khas ulama, mulai masalah yang acap terjadi dan menimbulkan persoalan hukum (mu'amalah) dalam masyarakat seperti merebakya praktek munkarat, polemik kuliner, penyelesaian sengketa ekonomi berbasis syariah, hingga masalah yang mungkin tidak pernah menjadi sorotan publik seperti penutupan jalan umum untuk hajatan dan foto mesra calon pengantin di sampul undangan.

Tentu yang mungkin akan berkembang secara dinamis juga adalah sejumlah isu aktual lain yang dimunculkan para peserta berdasarkan perkembangan dimensional kehidupan sosial keagamaan (al-hukm yaduru ma'a illah) atau suatu ketetapan hukum selalu muncul diiringi alasan situasional yang melatarinya.
Menyimak sederet isu di atas, mengisyaratkan MUI--setidaknya di Lampung--mulai menggeliat aktif menangkap, merespons, dan mengartikulasikan aspirasi umat Islam dalam kehidupan beragamanya di tengah-tengah sistem sosial yang memang kurang religius. Meskipun demikian, sejumlah masalah yang dikedepankan belum menyentuh aspek substansi-substansi yang secara riil dihadapi umat seperti persoalan kemiskinan, kebodohan, kelaparan, dan ukhuwah yang rapuh.
Apakah ini menunjukkan ulama secara umum belum memiliki kerangka metodologis dan pendekatan yang pas (at-thoriqah wa kaifiyyah) untuk menjaring agenda prioritas umat. Jawabannya mungkin ya, mungkin juga tidak.
Ya, karena metodologi dan sejumlah pendekatan masalah yang sering digunakan MUI dan bahkan pakem dalam solusi masalah adalah bersifat fiqhiyyahat (pemahaman kontekstual praktis), inward looking (pandangan linear keulamaan), dan oleh sebab itu terkesan parsial (sebelah, single view). Mungkin juga tidak karena ulama dalam terminologi sosiologis adalah komunitas pemilik otoritas keilmuan agama yang domain kompetensinya "hanya" mengurusi wilayah agama, sehingga persoalan-persoalan sosial politik dan kultur bukan garapan habitatnya. Sebab itu, terseparasi dengan pemegang otoritas publik lain seperti pemerintah, alat negara atau negara itu sendiri.
Menurut kami, pradigma lama ini, sejak Prof. Dr. M. Dien Syamsuddin, M.A. memegang tampuk MUI secara perlahan mulai diubah dan digeser ke arah paradigma baru yang lebih berorientasi kepada penyelesaian masalah-masalah publik dalam space lebih luas, substansial, dan menunjukkan karakter Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (mencitrakan Islam sebagai salah satu kontributor perdamaian dunia semesta).
MUI kemudian mulai unjuk gigi dengan fatwa keharaman bunga bank, komitmen utuh pada NKRI, mengeliminasi perda berlabel syariat dalam konstelasi kehidupan bangsa yang plural, selain tentunya sejumlah isu internal di lingkungan umat islam yang memerlukan penjelasan dan kepastian hukum. Apa yang telah dimulai ini, perlu terus dikembangkan dengan mengubah world view (pandangan dunia) para ulama terutama para pengurus MUI.
Beralas frame di atas, seraya mendukung paradigma baru tersebut, dalam pandangan kami, MUI perlu melakukan setrum-setrum energi keulamaannya kepada seluruh stake holder pemegang otoritas publik, politik, ekonomi, dan budaya agar tercipta sinergi dan mutualisme yang multiperspektif dalam penyelesaian berbagai masalah umat (bangsa) di tingkat lokal, nasional atau bahkan di level internasional.
Di depan mata kita telah dan sedang muncul ancaman serius dan mengkhawatirkan umat seperti kerusakan lingkungan yang akut (fasadun fi al-ardhi), hedonisme kultural, penegakan good governance yang mendesak dan lain sebagainya.
Untuk mengambil peran strategis dalam mencari solusi-solusi umat (bangsa) terhadap pelbagai masalah di atas, kepemimpinan (imamah) para ulama perlu dipulihkan kembali setara dengan kepemimpinan umara (pemegang otoritas birokrasi negara) agar segera menyatu, lebur dalam semangat ekualitas (kesamaan peran) saling mengajak, membutuhkan, mengisi, dan menghargai kontribusi masing-masing.
Dalam bingkai ta'awun (spirit saling bantu) itu dihadiri sikap arogansi, klaim kebisaan sepihak dan saling mencurigai.
Ulama dan umara adalah pemimpin dan pemimpin tidak pernah bisa lepas dari public accountability, di dunia dan akhirat sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Al-Isra Ayat (71), "Ingatlah pada suatu hari (kiamat), Kami panggil tiap umat manusia dengam imamnya (pemimpinnya)." Selamat bermusyawarah, semoga Allah swt. menyertakan hidayah, inayat, dan taufik-Nya. Amin

0 Comments:

Post a Comment



Comment Box


ShoutMix chat widget

Banner

PuskomSTAINMetro Awan


Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. (Khalifah ‘Umar)
Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all