2/06/2009

KEGAGALAN POLITIK ISLAM MODERN


Secara filosofis, gagasan para pemikir politik Islam Modern sesungguhnya masih aktual hingga kini. Misalnya Pan – Islamisme atau Pan – Arabisme yang secara substansial menghendaki adanya persatuan dan kesatuan bangsa Arab. Para pemikir juga sepakat untuk menggalang solidaritas umat guna mengantisipasi munculnya pemerintahan despotik dan sentralisme kekuasaan.

Babak baru sejarah politik Islam modern dimulai sejak akhir abad XIX dibawah pengaruh Pan-Islamisme. Ini mengawali munculnya diskursus politik tentang khilafah sebagai respons atas kerapuhan sistem kekhalifahan Turki Utsmani. Wacana politik Islam modern ini kemudian menginspirasi Syaripudin Basyar menulis disertasi berjudul “Pergolakan Politik Islam di Tengah Modernisme; Kajian Atas Gagasan Politik al-Kawakibi.” Pembahasan disertasi alumnus Pondok Modern Gontor (1985) itu, lebih difokuskan pada refleksi intelektual dan aksi politik Islam yang direpresentasikan oleh beberapa pemikir Islam sepanjang abad ini.

Syaripudin menyebutkan tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam ranah intelektual dan aksi politik ini diantaranya Rifat al-Thantawi, Jamaluddin al-Afghani, Khairudin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Ziya Gokalp, Ali Abd al-Raziq, Rasyid Ridha, Sayyid Abul A’la al-Maududi dan Taqiyuddin an-Nabhani. “tema-tema politik yang diusung para pemikir Islam ini relatif sama. Misalnya gagasan nasionalisme Arab (Pan – Arabisme), Pan – Islamisme, sistem khilafah dan Dawlah Islamiyyah,” kata ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo, Metro, Lampung.
Doktor kajian politik UIN Jakarta ini membagi tiga paradigma seputar pergolakan politik Islam modern. Pertama, paradigma tradisionalisme yang diwakili oleh Rasyid Ridha. Dalam pandangan tradisional, kekhalifahan hukumnya wajib karena didasarkan pada syariah dan ijma’. Karena itu, Ridha mewajibkan penegakan negara khilafah sebagai perintah syar’i sebagaimana pernah diterapkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, paradigma fundamentalisme.

Pemikiran yang muncul pada paruh pertama abad XX ini dipelopori oleh Hassan al-Banna, al-Maududi, dan an-Nabhani. Menurut paradigma ini, Islam telah menetapkan bentuk dan sistem pemerintahan dengan sistem khilafah dan menjadikannya sebagai satu-satunya sistem bagi Dawlah Islamiyah. Ketiga, paradigma sekularisme; dipelopori oleh Ali Abd al-Raziq. Cara pandang sekular ini meyakini bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan kekhalifahan, termasuk kekhalifahan al-Khulafa al-Rasyidin.
Atas dasar ini, al-Raziq beranggapan bahwa Islam tidak menetapkan suatu rezim dan tidak memerintahkan agar umat Islam menganut suatu sistem tertentu. Islam memberikan kebebasan absolut kepada manusia untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi dengan mempertimbangkan faktor sosial dan tuntunan zaman.
Dari tiga paradigma tersebut, dimana posisi al-Kawakibi yang menjadi objek penelitian pria kelahiran Lampung, 11 Agustus 1966 ini? “al-Kawakibi mungkin menempati posisi tradisionalisme Islam,” kata Syaripudin. Al-Kawakibi sepaham dengan Ridha dalam hal otoritas Quraisy sebagai pewaris kekhilafahan, namun mereka berbeda pandangan dalam soal institusinya. Bagi Ridha, hanya ada satu lembaga khilafah yang berlaku universal bagi umat Islam.
Sementara al-Kawakibi membingkainya dalam skala regional Arab. Pada spektrum lain, kata Syaripudin, al-Kawakibi menyetujui prinsip-prinsip dasar-dasar Islam untuk dioperasikan dalam kerangka Dawlah Islamiyyah (Negara Islam). Konsepsi ini dijadikan alasan pendukung fundamentalisme Islam. Namun perbedaan pandangan terjadi dalam implementasi prinsip-prinsip mengenai konstelasi pemerintahan Islam.
Syaripudin mengakui, dalam batas-batas tertentu ide-ide pemikiran politik para reformis Muslim ini mampu membangkitkan kesadaran umat Islam akan pentingnya persatuan dan penegakan nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahan. Artinya, ungkap komentator politik di Radio Smart FM Palembang ini, pada tataran ideologi mereka berhasil membentuk arus utama (mainstream) pemikiran umat Islam akan pentingnya penegakan nilai-nilai demokrasi sehingga mampu membatasi rezim otoriter. Namun harus diakui juga bahwa pada tataran aksi, ide-ide pemikiran mereka mengalami kesulitan untuk diterapkan.
Buktinya, di Timur Tengah sendiri saat ini masih berkecamuk konflik politik yang berkepanjangan. Hingga kini gagasan yang disebut Dawlah Islamiyyah, Pan-Arabisme atau Pan-Islamisme pun belum pernah terbentuk disana. Apalagi penerapannya didunia Islam yang tersebar diseluruh penjuru dunia.
Syaripudin tak bermaksud menghakimi ide-ide pemikiran politik kaum reformis Muslim maupun mengecilkan makna perjuangan mereka. Namun, ia hendak mengatakan bahwa pada tataran praktis pemikiran politik Islam modern yang dikumandangkan oleh para reformis Muslim tersebut telah mengalami kegagalan. “Sebab pada aksinya hingga saat ini belum terbentuk Dawlah Islamiyyah,” tegas pengagum K.H Imam Zarkasyi dan Dr Harun Nasution ini. Ia juga menyangsikan, munculnya ide Negara Islam atau penerapan hukum Islam di Indonesia, yang boleh jadi hanya romantisme historis-normatif mengingat bangsa Indonesia bersifat pluralistik.

Mainstream al-Kawakibi
Salah seorang tokoh modernis muslim yang terlibat secara intensif mengamati atmosfir politik dan keagamaan di masa itu adalah al-Kawakibi. Pemilik nama lengkap Abdurrahman Afandi al-Kawakibi ini dilahirkan di Aleppo, 1848, dan meninggal dunia secara mendadak tahun 1902.
Seperti kebanyakan modernis lainnya, ia memandang bahwa penyebab kejumudan yang dialami kaum Muslim vis a vis masyarakat Barat Kristen secara internal adalah akibat praktik pemerintahan tirani, kehancuran kebudayaan Islam, dan tidak adanya unsur pengikat baik ras maupun bahasa. Selain itu, al-Kawakibi melihat bahwa Islam mengalami kehancuran karena banyaknya praktik bid’ah yang terutama berakar dari ekses-ekses mistisisme, juga sikap taklid (peniruan membabi buta), stagnasi pemikiran, serta kegagalan membedakan antara unsur esensial dalam Islam dan yang tidak.
Al-Kawakibi melontarkan kritik tajam terhadap kalangan penguasa Islam yang menurutnya telah mendorong tumbuhnya sikap pasif dan taklid serta berbagai bentuk penarikan diri dari urusan dunia yang pada gilirannya semakin memperkokoh absolutisme penguasa. Al-Kawakibi mengingatkan tentang peran despotik dan para penguasa tiran yang merusak Islam dan para pengikutnya.
Negara despotik, menurut al-Kawakibi, melakukan pelanggaran atas hak-hak warganya dengan membiarkan mereka berada dalam kebodohan dan kepasifan hidup bermasyarakat. “semua itu akan merusak hubungan antara penguasa dan rakyat dan hubungan antar warga,” tegas Syaripudin. Gaya penguasa ini katanya, akhirnya menekankan bahwa setiap kekuasaan, apapun bentuk dan sifatnya, berpotensi menjadi tiran disebabkan oleh dua hal, yaitu kebodohan masyarakat dan militerisme yang terorganisir.
Sebaliknya, al-Kawakibi memberikan gambaran tentang negara yang adil sebagai sebuah negara yang memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menentukan tujuan, dan menjamin kebebasan dan kemerdekaan berpendapat, memeluk keyakinan dan memperoleh keadilan serta keamanan. Peran pengausa dalam negara yang adil adalah mengawasi praktek kebebasan warganya. Sebaliknya, negara juga dikontrol oleh rakyatnya.

0 Comments:

Post a Comment



Comment Box


ShoutMix chat widget

Banner

PuskomSTAINMetro Awan


Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. (Khalifah ‘Umar)
Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all