2/11/2009

Pesantren Jangan sampai Tersubordinat

Dr. Syaripudin Basyar, M.Ag.
Intelektual Muslim-Ketua Ika PMG Lampung
NEGARA adidaya semacam Amerika Serikat saja "mengakui" kebesaran pesantren, mengapa kita di negeri sendiri tidak menyadari kekuatan ini?
Negeri kita memiliki satu lembaga pendidikan keagamaan yang khas dan tidak dimiliki negara lain. Lembaga itu adalah pesantren.
Sejak mula berdiri pada masa kewalian di tanah Jawa, pesantren adalah tempat orang berguru, menimba ilmu, menyerap pengetahuan, dan beroleh pencerahan. Pada mulanya, para santri duduk berjejer menghadap sang kiai, sementara sang kiai membacakan kitab kuning sambil tak henti mengingatkan murid-muridnya agar menjalankan ajaran Islam.
Tradisi bonangan yang menanamkan jati diri khas orang-orang pesantren dan membuka kesadaran para santri; tradisi yang terus hidup sampai sekarang di pesantren-pesantren salaf.

Sayang, lembaga ini belum sepenuh hati diterima di negeri kita meskipun hadir lebih dua abad lalu. Masyarakat masih ragu pada pesantren yang sudah berabad itu. Selalu ada pertanyaan, akan jadi apa kelak para lulusan pesantren? Apakah pesantren bisa memberi garansi kelak santrinya bisa mendapat pekerjaan?
Pertanyaan seperti ini masih memenuhi benak masyarakat. Di sisi lain, negara c.q. instansi terkait belum berhasil menyejajarkan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan umum semacam SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Lalu...?
Bagi Dr. Syaripudin Basyar, M.Ag., kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. "Pesantren harus diberdayakan. Pesantren tidak boleh tereliminasi dan tersubordinat dalam sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Sisdiknas kan memberi ruang begitu luas kepada pesantren," ujar doktor muda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Apalagi melihat sejarah pesantren di negeri ini. Sejak awal berdiri, ujar Syaripudin, pesantren tak pernah lepas dari masyarakat desa. Masyarakat perdesaan pada waktu itu identik dengan grassroot. Identik dengan ketidakberdayaan dan "kegelapan".
"Pesantren juga berperan besar semasa perjuangan dulu. Jadi...sangat naif jika aset bangsa ini memperoleh perlakuan yang tidak setara dengan lembaga pendidikan yang dianggap formal. Sekarang ini tidak ada lagi dikotomi formal dan nonformal. Itu harus ditinggalkan," ujar Syaripudin di kediamannya, kompleks IAIN Raden Intan, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Jumat (6-10) malam.
Syaripudin bukan orang baru di dunia pesantren. Sebab itu, bicara soal pesantren bagi Syaripudin ibarat membahas badan sendiri.
Perkenalannya dengan pesantren dimulai setamat SD pada 1979. Lulus SD, ia terbang ke Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Selesai belajar di Gontor, ia meneruskan studi ke Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Antara 2002 dan 2005, ia menjadi penasihat di Forum Pesantren (Forpes). Forum ini membawahkan lebih 200 pesantren se-Sumatera Selatan.
"Kalau di Sumsel ada alokasi bujet dari APBD provinsi. Pertama sekali mendapat Rp5 miliar per pesantren, kemudian menjadi Rp7,5 miliar. Ini belum termasuk bantuan dari pemerintah pusat," ujarnya soal kondisi pesantren di provinsi tetangga.
Pengalaman berkecimpung dengan dunia pesantren di Provinsi Sumsel ini membuat ia berpikir jauh tentang keberadaan pesantren di Indonesia, begitu juga di Lampung. Ia tak ingin suatu saat nanti pesantren hanya tinggal nama.
Syaripudin ingin melihat pesantren menjadi lembaga yang kuat, yang menyebarkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Menjadi lembaga yang menelurkan ulama-ulama sekelas Buya Hamka, K.H. Agus Salim atau M. Natsir.
Lalu...bagaimana dengan pesantren-pesantren di Lampung? Bisakan pesantren tumbuh menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang sama kuat dengan lembaga-lembaga pendidikan umum?
Di Lampung, sekitar 1992 berdiri Badan Koordinasi Pondok Pesantren (BKPP). "Saya berkecimpung di sana. BKPP banyak menyumbang untuk Provinsi Lampung. Gubernur saat itu (Poejono Pranyoto, red) mencadangkan tanah 720 hektare di Wiralaga, Tulangbawang. Di situ lalu dibangun Pesantren Ulil Abshor, pesantren yang berorientasi agrobisnis," ujar dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung ini.
Namun, ujar Syaripudin, pengembangan pesantren di Lampung belum maksimal. "Perlu dibangun pemikiran konstruktif di masyarakat terutama elite-elite masyarakat. Karena ada anggapan pesantren ini adalah lembaga independen yang bergantung pada swadaya masyarakat. Padahal tidak begini," ujarnya.
"Bantuan-bantuan di Lampung juga masih bersifat insidental, belum terprogram. Ini karena ada anggapan kalau pesantren itu lembaga yang bukan prioritas," kata dia.
Dalam perkembangan kemudian, BKPP yang independen itu tidak dapat lagi mengoordinasi seluruh pesantren. Banyak masalah yang membuat lembaga ini tidak bisa berbuat banyak. Kepentingan kelompok dan minimnya dukungan pemerintah menjadi masalah yang membuat BKPP jalan di tempat.
Seperti apa profil pesantren di negeri kita ini?
Ya...pesantren itu ada beberapa model. Makanya, kita sepakati dulu. Pesantren itu lembaga pendidikan yang bercirikan agama Islam.
Yang unsur-unsur pokoknya terdiri atas kiai, santri, masjid, dan asrama. Materi kajiannya, kata Martin Van Bruiniessen, itu kitab-kitab klasik Islam.
Awalnya, pesantren hanya berorientasi pengembangan umat Islam dalam bidang pendidikan keagamaan. Kurikulumnya independen, tidak menginduk pada Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional.
Saat itu buku-buku yang digunakan adalah buku-buku Islam klasik yang sebagian diimpor dari Al Azhar dan Arab Saudi. Berbahasa arab.
Pesantren seperti ini dapat disebut pesantren yang bertujuan menjaga kualitas Islam. Ini pesantren yang bernuansa salafiyah.
Kategori kedua adalah pesantren yang sudah disentuh pola-pola pendidikan modern. Sudah merambah pendidikan ilmu-ilmu modern barat pada beberapa tingkatan seperti teknologi, ilmu-ilmu baru semisal Aljabar, Bahasa Inggris, Biologi, dan Geografi.
Oke. Masalahnya sampai sekarang masih ada problem terkait ijazah. Tanpa ijazah, lulusan pesantren sulit meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi. Bagaimana ini?
Iya...ada beberapa pesantren yang lebih kurang setengah abad tidak diakui negara karena tidak memiliki sertifikat atau ijazah tanda selesai belajar. Beberapa pesantren salafiyah memang tidak mengenal waktu belajar.
Ada yang 10 tahun bahkan sampai belasan tahun. Ijazahnya itu, kalau kiai sudah mengizikan santri mengajar, ya itulah ijazah. Artinya, secara lisan saja.
Ada juga pesantren yang berkiblat pada departemen agama. Pendidikannya mengikuti model tsanawiah atau aliah. Ada juga yang mengikuti Departemen Pendidikan Nasional dengan memasukkan unsur pendidikan sekolah menengah pertama dan atas.
Nah...untuk pesantren seperti ini, ijazah dikeluarkan dari instansi-instansi itu (Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional). Umumnya di Lampung mengikuti pola departemen agama. Jadi ada pengakuan dari pemerintah berupa sertifikat.
Artinya, yang salafiyah murni tetap tanpa sertifikat formal itu?
Ya. Memang untuk akselerasi dan mobilitas pembelajaran di tingkat yang lebih tinggi, pesantren-pesantren salafiah itu ada kendala.
Kalau soal out put, pesantren salafiyah diorientasikan untuk mengabdi pada masyarakat. Jadi, bukan untuk karier di pemerintah atau swasta. Mereka misalnya menjadi dai.
Coba saja lihat, kan tidak jarang santri-santri salaf begitu keluar pesantren membuat pesantren baru. Jadinya, pesantren-pesantren seperti terus berkecambah. Memang begitu khasnya pesantren salafiyah.
Soal ilmu, ya jangan ditanya. Santri-santri salaf itu dalam sekali ilmunya, baik itu aspek mantik, balagoh, qiraat, tafsir, hadis, nahwu sorof. Mereka matang mereka. Bayangkan, kalau tidak ada pendidikan seperti itu, ilmu-ilmu Islam kan bisa hilang.
Begitu banyak ilmu yang diberikan pesantren, tapi kenapa sampai sekarang animo masyarakat ke pesantren masih rendah?
Ini ada juga faktor budaya. Ya...perbedaan antara budaya masyarakat Islam di Pulau Jawa dan luar Jawa, begitulah.
Di masyarakat jawa, dari turun temurun hawa pesantren itu begitu kental. Kalau seorang anak dari lingkungan santri tidak mencicipi bangku pesantren, itu belum sah. Kalau orientasinya masuk pesantren ya untuk menyebarkan Islam dan menjalankan syiar.
Sementara itu, kultur masyarakat di luar Jawa berbeda. Umumnya sejak kecil kita dibangun dengan mental feodalistik, yang menghendaki posisi-posisi sosial yang serba elitis. Sehingga berpikirnya pun menjadi sangat birokratik.
Kalau begini pandangannya, jelas pesantren tidak bisa menjawab kebutuhan feodalistiknya itu. Orang belajar di pesantren itu kan paling juga akan kuliah di IAIN, kerja di Departemen Agama.
Begitu persepsinya. Sehingga sangat kecil sekali minat ke sana. Ini juga menghantui calon santri.

0 Comments:

Post a Comment



Comment Box


ShoutMix chat widget

Banner

PuskomSTAINMetro Awan


Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. (Khalifah ‘Umar)
Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all