2/28/2009

Politik Berkarakter Islam Hadirkan Perbaikan

JAKARTA--MI: Fenomena munculnya partai yang mengusung platform keagamaan, terutama Islam sudah muncul di Indonesia sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama pada 1955. Namun belum ada satupun yang mampu muncul menjadi kekuatan politik utama yang memdominasi peta politik nasional.

Selain karena sisi kultur masyarakat Indonesia yang lebih toleran dengan segala macam perbedaan, termasuk dalam hal religi, partai politik Islam yang ada belum mampu memberikan jaminan bisa tetap mempertahankan harmonisasi dalam keanekaragaman masyarakat Indonesia.

Demikian disampaikan Prof DR Syaripudin Basyar M Ag, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo, Metro Lampung Selatan, yang baru saja diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Politisi Islam STAIN Jurai Siwo saat diwawancarai Jajang Sumantri dari Media Indonesia, Kamis (26/2).

Alumni pesantren Gontor dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu memaparkan pemikirannya tentang peran politik partai Islam di Indonesia. Berikut cukilan wawancara dengan pria kelahiran Way Kanan, Lampung 11 Agustus 1966 silam ini.

Apa esensi dari pidato pengukuhan Anda sebagai Guru Besar Ilmu Politik Islam?

Intinya, saya mencoba membedah kegagalan politik Islam modern dengan pendekatan historis dari mulai masa kekhalifahan hingga era kontemporer. Saya mencoba mengkaji dari munculnya Pan Islamisme yang merindukan adanya kesatuan Islam internasional dengan konsep khilafah, gerakan konstitusionalisme Islam yang berupaya membatasi peran dari raja-raja di dunia islamserta gerakan nasionalisme Islam seperti di Turki yang kental dipengaruhi revolusi Prancis. Kemudian gerakan nasionalisme bernapas Islam yang berkembang di Mesir, Iran, India serta Pakistan pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini masuk ke Indonesia secara damai seiring dengan semangat memerdekakan diri dari penjajahan dan membentuk akulkturasi dengan budaya yang sudah ada sebelumnya. Ini yang menjadikan Islam Indonesia termasuk kehidupan politik penganutnya begitu menarik untuk dipelajari.

Siapa yang banyak memberi kontribusi paling signifikan terhadap penguatan masyarakat madani Indonesia, apakah Islam secara politik atau secara kultural?

Meski gerakan politik berbasis Islam masuk secara massive saat masa-masa perjuangan kemerdekaan yang ditandai dengan munculnya berbagai partai politik Islam dari mulai NU, Masyumi, PSII, namun pengaruh keaslian (indegenous) keindonesiaannya terasa begitu kental. Artinya dua pengaruh ini, politik maupun kultural berbaur menjadikan masyarakat Islam Indonesia boleh dikatakan sebagai contoh masyarakat madani yang masih berpegang dengan nilai-nilai keaslian Indonesia, yang ramah, terbuka dan selalu toleran. Kalaupun ada kasus-kasus kekerasan berlatar agama, jauh dari cermin masyarakat Islam Indonesia secara keseluruhan.

Dengan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, mengapa masih ada kalangan yang ngotot membuat partai meski bisa dikatakan partai dengan platform keagamaan tidak terlalu sukses mendulang suara?

Karena sebagai konsekuensi dari negara multikultural maka setiap golongan yang mengusung segmen aliran masih akan mendapat pendukung. Artinya kelompok santri, abangan hingga kaum Muslim modern masih menjadi ceruk untuk diperbutkan oleh partai politik Islam. Dan juga tingkat pendidikan cukup berpengaruh. Artinya ketika seorang sudah melek politik dan melihat apa yang ditawarkan partai berbasis Islam itu justru dianggap mampu memenuhi aspirasi politiknya, ia akan memilih secara sadar untuk bergabung dengan partai Islam. Namun di satu sisi juga masih ada partai Islam yang menggunakan bahasa-bahasa politik dogmatis untuk memukau massa. Namun karena keterbatasan massa, dalam pemilu 2009 kedua jenis partai yang mengusung platform seperti ini juga tidak akan terlalu meraih suara signifikan.

Bagaimana relevansi ungkapan "Islam Yes, partai Islam No" dari Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) dengan kondisi politik kontemporer?

Ada dua tinjauan terhadap ungkapan guru bangsa kita itu. Pertama, pada zaman Orde Baru itu adalah ungkapan kekecewaan terhadap peran partai Islam yang hanya menjadi pelengkap dari sistem politik yang ada, sehingga terus menerus dalam posisi marjinal. Kedua, kemunculan gerakan politik Islam selalu dibarengi dengan munculnya polemik dan perpecahan yang membuat umat terus menjadi korban.

Karenanya Cak Nur melihat wadah itu tidak terlalu penting, justru nilai-nilai Islam ke Indonesiaan itu yang harus dimunculkan untuk membentuk budaya bangsa yang baik. Karena itu yang sekarang diperlukan adalah upaya untuk memasukkan politisi dengan moral seorang Muslim yang baik untuk masuk ke partai manapun, membuat perubahan di dalam dan memunculkan satu budaya politik yang tidak hanya santun dan bermoral, namun juga betul-betul bisa membawa amanah dari konstituen partai tersebut. (JJ/OL-03)

0 Comments:

Post a Comment



Comment Box


ShoutMix chat widget

Banner

PuskomSTAINMetro Awan


Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. (Khalifah ‘Umar)
Template by Abdul Munir | Blog - Layout4all